IFRS (International Financial Reporting Standard) adalah standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh IASB (International AccountingStandard Board). Di mana disusun oleh 4 organisasi utama dunia yaitu • (IASB) Badan Standar Akuntansi Internasional • (EC) Komisi Masyarakat Eropa • (IOSOC) Organisasi Internasional Pasar Modal • (IFAC) Federasi Akuntansi Internasional Natawidnyana (2008) menyatakan bahwa sebagian besar standar yang menjadi bagian dari IFRS sebelumnya merupakan International Accounting Standard (IAS). Kemudian IASB mengadopsiseluruh IAS dan melanjutkan pengembangan standar yang dilakukan. Setelah tahun 2001: • International Financial Reporting Standard (IFRS) • Interpretations yang diterbitkan oleh International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) Sebelum tahun 2001 : • International Accounting Standard (IAS) • Interpretations yang diterbitkan oleh Standing Interpretations Committee (SIC) Konvergensi IFRS? Pengertian konvergensi IFRS yang digunakan merupakan awal untuk memahami apakah penyimpangan dari PSAK harus diatur dalam standar akuntansi keuangan. Pendapat yang memahami konvergensi IFRS adalah full adoption menyatakan Indonesia harus mengadopsi penuh seluruh ketentuan dalam IFRS, termasuk penyimpangan dari IFRSs sebagaimana yang diatur dalam IAS 1 (2009): Presentation of Financial Statements paragraf 19-24. IFRS menekankan pada principle base dibandingkan rule base. Tujuan akhir dari konvergensi IFRS adalah PSAK sama dengan IFRS tanpa adanya modifikasi sedikitpun. Di sisi lain, tanpa perlu mendefinisikan konvergensi IFRS itu sendiri, berdasarkan pengalaman konvergensi beberapa IFRS yang sudah dilakukan di Indonesia tidak dilakukan secara full adoption. Sistem kepengurusan perusahaan di Indonesia yang memiliki dewan direksi dan dewan komisaris (dual board system) berpengaruh terhadap penentuan kapan peristiwa setelah tanggal neraca, sebagai contoh lain dari perbedaan antara PSAK dengan IFRS. Indonesia melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) – Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sedang melakukan proses konvergensi IFRS dengan target penyelesaian tahun 2012. IFRS menekankan pada principle base dibandingkan rule base. Indonesia akan mengadopsi IFRS secara penuh pada 2012, Strategi adopsi yang dilakukan untuk konvergensi ada dua macam, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan – tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh negara – negara maju. Sedangkan pada gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh negara – negara berkembang seperti Indonesia. Sasaran Konvergensi IFRS tahun 2012, yaitu merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IFRS versi 1 Januari 2009 yang berlaku efektif tahun 2011/2012, Konvergensi IFRS di Indonesia dilakukan secara bertahap. Adapun manfaat yang diperoleh dari konvergensi IFRS adalah memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan SAK yang dikenal secara internasional, meningkatkan arus investasi global melalui transparansi, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global, menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. Apa manfaat konvergensi IFRS? Diantaranya adalah : • Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional. • Meningkatkan arus investasi dlobal melalui transparansi. • Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global. • Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. • Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management. Alasan perlunya konvergensi ke IFRS? Dengan dilakukannya konvergensi PSAK ke IFRS maka : 1. Mengurangi peran dari badan otoritas dan panduan terbatas pada industri-industri spesifik. 2. Pendekatan terbesar pada subtansi atas transaksi dan evaluasi dimana merefleksikan realitas ekonomi yang ada. 3. Peningkatan daya banding laporan keuangan dan memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional. 4. Menghilangkan hambatan arus modal internasional dengan mengurangi perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan. 5. Mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan multinasional dan biaya untuk analisis keuangan bagi para analis. 6. Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan menuju “best practise”. Permasalahan yang dihadapi dalam impementasi dan adopsi IFRS? Diantaranya adalah : • Translasi Standar Internasional • Ketidaksesuaian Standar Internasional dengan Hukum Nasional • Struktur dan Kompleksitas Standar Internasional • Frekuensi Perubahan dan Kompleksitas Standar Internasional Seperti contoh IFRS menekankan pada fair value dan meninggalkan historical value. http://galuhwardhani.wordpress.com/2012/04/18/alasan-perlunya-konvergensi-ke-ifrs/ Historical Cost Principle Vs Fair Value Accounting Pada postingan sebelumnya, saya sudah membahas sedikit tentang IFRS. Dimana IFRS tidak lagi menggunakan historical cost, melainkan menggunakan fair value accounting. Sebelumnya kita harus mengerti dulu apa itu historical cost dan fair value. Berikut penjelasannya. 1. Historical Cost. Menurut Suwardjono (2008;475) biaya historis merupakan rupiah kesepakatan atau harga pertukaran yang telah tercatat dalam sistem pembukuan. Prinsip historical cost menghendaki digunakannya harga perolehan dalam mencatat aktiva, utang, modal dan biaya. Yang dimaksud dengan harga perolehan adalah harga pertukaran yang disetujui oleh kedua belah pihak yang tersangkut dalam tranksaksi. Harga perolehan ini harus terjadi pada seluruh traksaksi diantara kedua belah pihak yang bebas. Harga pertukaran ini dapat terjadi pada seluruh tranksaksi dengan pihak ekstern, baik yang menyangkut aktiva, utang, modal dan transaksi lainnya. 2. Fair Value. Berdasarkan FASB Concept Statement No. 7 dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar dan tanggal pengukuran (Perdana, 2011) FASB, dalam Statement yang terbaru 157, pengukuran fair value mengesahkan fair value sebagai exit value, dengan tanda setuju dari IASB kepada beberapa reservasi minor : “ fair value adalah harga yang akan diterima dengan menjual satu aset atau yang dibayar untuk memindahkan suatu kewajiban dalam transaksi antara peserta-peserta pasar di tanggal pengukuran.” (Penman, 2007;33). Menurut Suwardjono (2008;475) fair value adalah jumlah rupiah yang disepakati untuk suatu obyek dalam suatu tranksaksi antara pihak-pihak yang berkehendak bebas tanpa tekanan atau keterpaksaan. Dengan demikian, fair value bukanlah nilai yang akan diterima atau dibayarkan entitas dalam suatu transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan keuangan. Nilai adalah nilai yang wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen. Bagaimana sudah agak mengerti kan perbedaanya dari kedua metode penghitungan biaya tersebut ? Pada kenyataannya, dunia bisnis lebih mengandalkan data-data pasar di banding dengan data-data historis, hal ini membuat angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi tidak handal lagi, laporan keuangan tidak dapat meng-capture kondisi keuangan saat ini dalam angka-angka yang disajikannya karena angka-angka tersebut merupakan refleksi dari masa lalu. Pergeseran ini membuat para pakar akuntansi mulai memikirkan jalan keluar atas masalah ini, buat apa ada laporan keuangan yang dihasilkan dari aktifitas accounting tetapi pada akhirnya laporan keuangan tersebut tidak dapat berbicara dengan tepat. Dimulai dari konvergensi akuntansi internasional yang sering membicarakan harmonisasi akuntansi antar Negara diseluruh dunia, mulai terpikir untuk memformulasikan standar acuan yang tepat untuk merubah mindset akuntansi ini. International Financial Reporting Standard (IFRS) yang saat ini telah menjadi acuan standar akuntansi di seluruh dunia. Didalam IFRS tersebut terlihat dengan jelas bagaimana akuntansi berubah dari historical value menjadi fair value (yang merupakan refleksi dari market value). Sebagai contoh, misalnya tanah yang selama ini dinilai berdasarkan harga perolehan, di buku perusahaan dicatat sebesar 1 miliar, mungkin saja jika menggunakan harga pasar harganya bisa menjadi 2 miliar saat ini. Jadi sangat tidak tepat dalam mengukur kinerja jika menggunakan return on aset (ROA) berdasarkan harga perolehan tersebut. Contoh lainnya dalam memperoleh pinjaman sebesar 100 juta, perusahaan mengeluarkan biaya-biaya untuk mendapat pinjaman tersebut sebesar 6 juta, dalam historical value yang kita kenal selama ini pinjaman tersebut dicatat di buku perusahaan tetap sebesar 100 juta tanpa mempertimbangkan attributable cost tersebut, seharusnya jika di-netting, perusahaan hanya mendapat 94 juta bukan? Pengukuran kinerja solvabilitasnya tentu juga akan berbeda bila menggunakan kedua jenis pengakuan ini. Dari contoh tersebut alangkah lebih tepat bila kita mengandalakan kondisi pasar dari pada sekedar catatan akuntansi, demikian juga dengan mengukur nilai perusahaan, alangkah lebih tepat memasukkan variable market value dari pada sekedar variable-variable akuntansi seperti net income, ROA, ROI, RI, DER, dll. Informasi dalam laporan keuangan dinyatakan memiliki relevansi apabila informasi tersebut mampu mempengaruhi keputusan investor. Informasi juga dinyatakan memiliki reliabilitas yang tinggi jika informasi tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan dapat diuji kebenarannya oleh pihak lain. Akuntan meyakini bahwa jika laporan keuangan mampu memenuhi kedua karakteristik tersebut, maka laporan keuangan akan berguna dalam pengambilan keputusan investasi. Namun apabila laporan keuangan menggunakan metode historical costing, maka dipandang akan mengurangi aspek kualitas relevansi, sehingga laporan keuangan tersebut tidak dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab itu fair value muncul untuk mengatasi kekurangan historical cost. Namun fair value tidak dapat sepenuhnya berguna untuk pengambilan keputusan karena tidak memiliki reliabilitas. Baik historical cost maupun fair value mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karna perdebatan ini maka historical cost sampai sekarang masih digunakan. Demikian sedikit penjelasan saya tentang perbandingan antara historical cost dengan fair value accounting. Semoga bermanfaat …. Sumber : http://akuntansibisnis.wordpress.com/ http://bennyantoni.blogspot.com/2012/04/historical-cost-principle-vs-fair-value.html
Kamis, 21 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar