Presiden AS George W Bush menandatangani rancangan undang-undang (RUU) penalangan korporasi bangkrut di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington, Jumat (3/10). Senat AS sudah terlebih dahulu menandatangani persetujuan atas RUU itu, diikuti DPR AS pada hari Jumat. Setelah menjadi undang-undang, Departemen Keuangan AS dan Bank Sentral AS siap mengucurkan dana untuk menalangi kerugian korporasi keuangan AS. Mengapa Lehman Brothers dibiarkan bangkrut dan kemudian menjadi episentrum ledakan sektor keuangan yang masih menggoyang sampai sekarang? Rumor kemudian merebak bahwa Lehman dibiarkan bangkrut karena pendukung Partai Demokrat. Ini hanya sebuah riak yang tidak signifikan. Di balik ledakan keuangan itu, ada cerita horor yang membuat kita mungkin terheran-heran melihat perangai para pelaku sektor keuangan AS. Satu argumen yang muncul di balik pembangkrutan Lehman diutarakan oleh James Tyree, Ketua Mesirow Financial. ”Penolakan Bank Sentral AS melindungi Lehman akan memaksa perusahaan keuangan untuk mengatasi masalah sendiri,” ujarnya. Hal serupa diutarakan William Brandt Jr, Ketua Development Specialists Inc (konsultan restrukturisasi dan kebangkrutan perusahaan). Vincent Reinhart, mantan pejabat Bank Sentral AS, mengatakan Bank Sentral memang harus mau menguji ketahanan sektor keuangan AS. Korporasi keuangan kini seperti sedang terdakwa. Para eksekutifnya adalah penyulut bara api yang membakar perusahaan. Masalahnya, mereka menyedot dana dari para investor, kemudian menyalurkannya ke perusahaan, yang butuh pembiayaan. Korporasi menerbitkan berbagai surat berharga dengan nama-nama yang aneh, yang dibeli para pemodal. Namun, di balik itu ada sebuah proses yang mengerikan, termasuk praktik penipuan, korupsi, dan keserakahan, yang kini menjadi sasaran kecaman calon presiden dari Demokrat, Barack Obama, dan calon presiden dari Republik, John McCain. Apakah penipuan itu? Salah satu contoh adalah penerbitan surat berharga (surat utang). Surat utang dijual di pasar, katakanlah, misalnya, oleh Lehman Brothers. Lehman kemudian mendapatkan dana. Atas keberhasilan mendapatkan dana itu, karyawan dan eksekutif Lehman mendapatkan komisi dari hasil penjualan surat berharga. Saat menyalurkan dana ke perusahaan yang butuh modal, Lehman juga dapat komisi. Kemudian yang terjadi adalah perusahaan yang mendapatkan pembiayaan dari Lehman tak bisa membayari utang-utang yang jatuh tempo. Terjadilah yang dinamakan redeem, dengan berbagai pola dan cara. Misalnya, Lehman menerbitkan lagi surat utang baru, seperti credit default swaps (CDS) dan collateralised debt obligations (CDO). Ini adalah derivatif surat utang yang juga bertujuan meraup dana dari investor, pemilik modal, yang kemudian disalurkan lagi ke perusahaan lain yang membutuhkan modal. Dalam transaksi jual beli CDS dan CDO ini, terjadi lagi kegagalan bayar dari perusahaan yang dibiayai. Mengapa gagal? Ini karena perusahaan yang dibiayai adalah para developer perumahan, yang sejak 2003 tak lagi mampu menjual rumah- rumahnya. Warren Buffett, investor kaya raya AS, sudah sadar keadaan itu sehingga meminta perusahaannya, Berkshire Hathaway, menghentikan kegiatan bidang ini sejak 2003. Akan tetapi, perusahaan lain hingga 2007 masih terus melakukan redeem, artinya terjadi istilah utang diganti dengan utang yang bertumpuk. Sebenarnya sudah ada ilmu yang mendalami soal potensi risiko, yang bisa terlihat dari catatan-catatan. Catatan ini bisa menunjukkan apakah perusahaan sudah menggali lubang kematian sendiri. Indikator seperti ini tidak diindahkan, bahkan mungkin dianggap tidak perlu. Bank Sentral AS sebenarnya berperan menghentikan praktik penggalian lubang kematian oleh korporasi keuangan AS. Ini tidak terjadi. Malah hal sebaliknya yang terjadi. Badan Pengawas Bursa Saham AS (Securities and Exchange Commission), Departemen Keuangan AS, pun tutup mata. Mantan Menteri Keuangan AS Paul O’Neill sebenarnya sadar juga akan bahaya ini, tetapi tidak berkutik di bawah Presiden AS George W Bush, yang memiliki opini sama dengan almarhum Presiden Ronald Reagan, bahwa pasar sebaiknya jangan diatur. Hal yang lebih mengerikan lagi, kecuali Bank Sentral AS, semua agen bank sentral menerima komisi dari lembaga keuangan yang menjadi anggotanya. Badan-badan ini pun bersaing untuk menggagalkan sejumlah peraturan keuangan, yang dianggap menghambat sepak terjang lembaga keuangan. ”Tidak ada pengawasan terpadu dari pemerintah pusat hingga di tingkat negara bagian,” kata Brian C McCormally, mantan pemimpin penegakan hukum dari Office of the Comptroller of the Currency. Mentalkan peraturan Bahkan, ada hal yang lebih buruk. Ada koordinasi untuk menyingkirkan peraturan. Ini terlihat dari sebuah jumpa pers bidang keuangan pada 3 Juni 2003. Saat ini sudah ada tanda- tanda jelas bahwa kucuran kredit ke sektor perumahan sudah mulai liar. Dalam jumpa pers itu malah diutarakan niat untuk mengurangi peraturan yang menjadi beban bagi perbankan. Empat dari lima wakil badan yang bertanggung jawab soal pengaturan keuangan menyerang sebuah makalah yang membeberkan tentang pentingnya sebuah pengaturan lembaga keuangan. James Gilleran, salah satu wakil dari Office of Thrift Supervision, dibuat tidak berdaya dan kalah menghadapi empat rekannya. Pentingnya pengaturan juga sudah lama diutarakan oleh Barney Frank dari Massachusetts. Frank adalah anggota DPR AS yang menjadi Ketua Jasa Keuangan DPR AS. Alasan soal perlunya pengaturan, menurut Frank, adalah karena lembaga keuangan telah terbawa arus bisnis dengan risiko tinggi tanpa pembatasan. Namun, ide ini, kata Frank, juga mental di tangan pemerintahan Presiden George W Bush. ”Kita harus belajar. Kita sudah mengetahui itu selama beberapa dekade. Kita harus kembali belajar dari kesalahan yang ada,” kata Senator Sherrod Brown (Demokrat, Ohio). ”Ketiadaan peraturan telah membuat kerakusan Wall Street makin menjadi-jadi,” kata Brown. Niat yang rendah soal pengaturan bahkan menyusup hingga ke Bank Sentral AS, sebagaimana diutarakan Avery B Goodman, ahli hukum yang menangani kasus hukum sekuritas. Dia adalah lulusan doktor hukum dari University of California at Los Angeles (UCLA). Goodman juga anggota National Futures Association (NFA) dan Financial Industry Regulatory Authority (FINRA). Menurut Goodman, sama seperti Depresi 1929, di mana Bank Sentral AS juga menjadi penyebab depresi karena kebijakan yang blunder, krisis sekarang juga terjadi akibat peran Bank Sentral AS. Goodman mengutip sebuah pidato yang disampaikan ekonom Ben Bernanke yang ketika itu sudah menjadi pejabat di Bank Sentral AS. Pidato itu disampaikan pada ulang tahun ke-90 ekonom tenar AS, Milton Friedman, pada tahun 2002, yang meninggal pada tahun 2006. Saat itu Bernanke mengatakan, ”Izinkan saya mengakhiri pidato saya dengan menyalahgunakan status saya sebagai seorang pejabat Bank Sentral AS. Saya ingin mengatakan kepada Milton: Terkait Depresi Besar. Anda benar, kami melakukan itu. Kami minta maaf. Namun, terima kasih kepada Anda, kami tidak akan melakukan itu lagi.” Goodman mengkritik, kini ucapan Bernanke itu jelas merupakan sebuah kebohongan. Bank Sentral AS mengulangi kesalahan itu. Saat korporasi keuangan jorjoran mengucurkan kredit ke sektor perumahan yang sudah mulai gagal bayar, Bank Sentral AS malah menurunkan suku bunga dan mempertahankannya dalam waktu lama pada tingkat 1 persen. Bank Sentral AS secara tidak langsung menyediakan dana-dana murah, yang turut menyulut spekulasi. Ini menciptakan jalan menuju Depresi Besar Jilid II, hiperinflasi babak I, dan pengulangan stagflasi parah yang terjadi pada dekade 1970-an. Bank Sentral AS terus memasok dana ke pasar, di mana sektor keuangan sudah makin liar dengan menciptakan instrumen keuangan yang kompleks dan amat berisiko, termasuk subprime mortgage, Option-ARM mortgage, Alt-A, dan lainnya. Lebih buruk lagi, Bank Sentral AS memasok pinjaman. Bank Sentral AS meminjamkan dana secara langsung kepada korporasi AS dengan jaminan yang tidak setimpal. Bank Sentral AS telah mengucurkan dana sebesar 777 miliar dollar AS dengan jaminan yang hanya senilai 171 miliar dollar AS. Keburukan Bank Sentral AS terbongkar ketika Lehman Brothers mendapatkan pinjaman 10 miliar dollar AS dari Bank Sentral AS Cabang New York, yang dipimpin Timothy Geithner. Padahal, saat itu semua orang, termasuk Geithner, tahu bahwa Lehman sudah insolvent (tidak mampu memenuhi kewajiban). (Kompas online ; Minggu, 5 Oktober 2008 | 03:00 WIB ) Menurut saya kasus diatas banyak melanggar etika profesi akuntansi, antara lain adalah prinsip ketiga yaitu Integritas, karena sudah tentu hal yang dilakukan oleh Timothy Geithner yang meminjamkan uang sebesar 10 miliar dollar AS ke Lehman Brothers. Selain prinsip ketiga. Kasus ini juga melanggar prinsip kelima yaitu kompetensi dan kehati hatian. Pada kasus diatas seperti tidak ada prinsip tersebut, dikarenakan asal dalam menentukan tindakan. Kemudian juga melanggar prinsip kedua yaitu kepentingan publik, pada kasus diatas yang terjadi adalah kebohongan publik yang dilakukan oleh Ben bernanke pada saat pidato pada tahun 2002. Yang selanjutnya adalah pelanggaran prinsip ke tujuh yaitu perilaku profesional, hal ini tidak tercermin pada contoh kasus diatas karena para pelaku tindak kekeliruan tidak mau untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi hams.
Rabu, 09 November 2011
Langganan:
Postingan (Atom)